Pencipta Segala Sebab Dan Akibat
Sebentar lagi mendekati hari raya idul Adha, dimana ada sebuah kisah yang mendasar dari hari raya idul adha yang disebut juga hari raya Qurban. Di Antara Pelajaran yang sangat Penting Menyangkut Akidah Dipetik Dari Kisah Nabi Ibrahim; Bahwa Allah "Pencipta Segala Sebab Dan Akibat"
Ada banyak pelajaran penting untuk kita ambil dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il Alaihimassalaam, beberapa di antaranya, terutama yang menyangkut akidah adalah sebagai berikut:
1. Diriwayatkan bahwa pisau yang ada di tangan Nabi Ibrahim seikitpun tidak dapat melukai leher Nabi Isma’il, ini karena pisau tidak menciptakan sifat memotong yang ada pada dirinya. Allah adalah Pencipta segala benda dengan segala sifat-sifatnya. Allah adalah Pencipta segala sebab dengan segala akibat-akibatnya.
Dalam hukum kausalitas ini ada sesuatu yang dinamakan “sebab” dan ada yang dinamakan “akibat”. Contohnya, obat sebagai sebab yang bagi akibat sembuh, api sebagai sebab yang bagi akibat kebakaran, makan sebagai sebab yang bagi akibat kenyang, pisau sebagai sebab yang bagi akibat potongan, dan lainnya. Dalam Akidah Ahlussunnah wal jamaah, menetapkan bahwa seluruh sebab-sebab dan akibat-akibat tersebut tidak berlaku dengan sendirinya. Artinya, setiap sebab sama sekali tidak menciptakan akibatnya masing-masing. Akan tetapi keduanya, baik sebab maupun akibat, semuanya adalah ciptaan Allah dan dengan ketentuan Allah.
Allah Ta'ala berfirman:
اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ (الزمر: 62)
Maknanya: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu” (QS. Az-Zumar: 62)
Dengan demikian, obat dapat menyembuhkan sakit karena kehendak Allah, api dapat membakar karena kehendak Allah, dan demikian seterusnya. Segala akibat jika tidak dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya maka itu semua tidak akan pernah terjadi.
Dalam sebuah hadits Shahih, Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ خَلَقَ الدّوَاءَ وَخَلَقَ الدّاءَ فَإذَا أصِيْبَ دَوَاء الدّاء بَرِأ بإذْنِ اللهِ (رواه ابن حبان)
Maknanya: “Sesungguhnya Allah yang menciptakan segala obat dan yang menciptakan segala penyakit. Apa bila obat mengenai penyakit maka sembuhlah ia dengan izin Allah”. (HR. Ibn Hibban).
Sabda Rasulullah dalam hadits ini: “… maka sembuhlah ia dengan izin Allah” adalah bukti bahwa obat tidak dapat memberikan kesembuhan dengan sendirinya. Fenomena ini adalah sebuah kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, Dan seringkali kita melihat banyak orang dengan berbagai macam penyakit, ketika berobat mereka mempergunakan obat yang sama, padahal jelas penyakit mereka bermacam-macam, dan ternyata sebagian orang tersebut ada yang sembuh, namun ada sebagian lainnya tidak sembuh. Tentunya apabila obat bisa memberikan kesembuhan dengan sendirinya maka pastilah setiap orang yang mempergunakan obat tersebut akan sembuh, namun kenyataan tidak demikian. Inilah yang dimaksud sabda Rasulullah: “… maka akan sembuh dengan izin Allah”.
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa adanya obat adalah dengan kehendak Allah, demikian pula adanya kesembuhan sebagai akibat dari obat tersebut juga dengan kehendak dan ketentuan Allah, obat tidak dengan sendirinya menciptakan kesembuhan. Demikian pula dengan sebab-sebab lainnya, semua itu tidak menciptakan akibatnya masing-masing. Kesimpulannya, kita wajib berkeyakinan bahwa sebab tidak menciptakan akibat, akan tetapi Allah yang menciptakan segala sebab dan segala akibat.
Termasuk dalam hal ini adalah segala perbuatan manusia; semuanya adalah ciptaan Allah, bukan ciptaan manusia itu sendiri. Perbuatan manusia atau hamba terbagi kepada dua bagian;
Pertama; Af’al Ikhtiyariyyah; yaitu perbuatan yang dengan inisiatif manusia itu sendiri (kasab), seperti makan, minum, dan lainnya.
KeDua; Af’al idlthirariyyah; yaitu perbuatan manusia yang terjadi di luar inisiatif manusia itu sendiri, seperti detak jantung, aliran darah, kedipan mata, rasa takut, dan lainnya.
Maka seluruh perbuatan tersebut; baik af’al ikhtiyariyyah maupun af’al idlthirariyyah adalah ciptaan Allah bukan ciptaan manusia. karenanya al-Imam al-Bukhari telah menulis satu kitab berjudul “khlaq Af’al al-‘Ibad” berisi hadits-hadits yang membahas bahwa segala perbuatan manusia adalah ciptaan Allah.
Awas!!
Waspadai faham neo Mu’tazilah yang sekarang ini telah hidup kembali walaupun tidak dengan “label”/nama Mu’tazilah; mereka berkeyakinan bahwa manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya…….!!!!! Keyakinan ini sesat menyesatkan!!
Kemudian Pelajaran selanjutnya:
2. Ketika Nabi Ibrahim hendak melaksanakan perintah Allah untuk menyembil Nabi Isma’il tiba-tiba Iblis muncul menggoda untuk mencegah kejadian tersebut supaya Nabi Ibrahim membangkang terhadap perintah Allah Ta'ala.
Iblis muncul tiga kali di tiga tempat jumroh sekarang. Lalu Nabi Ibrahim melemparnya dengan batu di tiga tempat tersebut untuk mengusir Iblis dan untuk menghinakannya. Oleh karenanya umat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam untuk melempar jumrah di tiga tempat tersebut. Namun yang harus diingat; bukan berarti bahwa sekarang ini Iblis bertempat di tiga tempat tersebut, tetapi tujuan melempar jumrah adalah untuk menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim yang telah melakukan hal tersebut.
3. Dasar disyari’atkan berkurban adalah firman Allah, hadits-hadits Nabi dan Ijma’ ulama. Dalam al-Qur’an di antaranya firman Allah:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَآئِرِ اللهِ (الحج: 36)
“Dan unta-unta telah kami menjadikannya bagi kalian sebagai syi’ar-syi’ar Allah”. (al-Hajj. 36).
Dalam ayat lain Allah berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (الكوثر: 2)
“Maka lakukanlah shalat olehmu (Muhammad) dan berkorbanlah” (QS. Al-Kautsar: 2).
Di dalam hadits Rasulullah bersabda:
أُمِرْتُ بِالنّحْرِ وَهُوَ سُنّةٌ لَكُمْ (روَاه التّرمِذي)
“Aku diperintahkan untuk melakukan berkurban (wajib bagi Nabi), dan berkurban itu bagi kalian adalah sunnah”. (HR. At-Tirmmidzi)
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:
كُتِبَ عَلَيَّ النّحْرُ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ عَلَيْكُمْ (رواه الدّارَقُطنيّ)
“Diwajibkan atasku untuk berkurban, dan tidak wajib atas kalian”. (HR. Ad-Daraquthni).
Dari dua hadits di atas jelas, sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh mayoritas ulama, bahwa dasar hukum melaksanakan kurban adalah sunnah mu’akkadah; artinya sunnah yang sangat dianjurkan. Hukum sunnah di sini berlaku sebagai sunnah kifa’iyyah; artinya jika satu orang dalam sebuah keluarga melaksanakan kurban maka kesunnahan tersebut mencukupi bagi anggota keluarga yang lain yang tidak melaksanakannya, namun jika seluruh anggota keluarga tersebut tidak berkurban, padahal mereka mampu untuk itu, maka hukumnya makruh. Berkurban hanya menjadi wajib ketika dinadzarkan untuk dilakukan. (Kifayah al-Akhyar, j. 2, h. 235).
Awas!!
Ada sebuah pernyataan yang harus diwaspadai, sebagian orang menganggapnya sebagai hadits, menyebutkan:
مَنْ وَجَدَ سَعَةً لأنْ يُضَحِّيَ فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَحْضُرْ مُصَلاّنَا
“Barangsiapa yang memiliki kemampuan untuk berkurban kemudian tidak berkurban maka janganlah ia mendekati tempat shalat kita”.
Ini adalah hadits yang sama sekali tidak benar. Bagaimana bisa diterima bahwa seorang yang hanya meninggalkan perbuatan sunnah saja tidak boleh masuk atau mendekati masjid?! Masuk masjid itu bagi muslim siapapun, bahkan termasuk bagi pelaku dosa besar sekalipun, jika ia hendak melaksanakan shalat atau ibadah lainnya boleh baginya untuk masuk masjid. Oleh karenanya al-Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang tidak berdasar (Ghair Tsabit).
Intaha
Allah Ada Tanpa Tempat
