Budaya Ngejekake dengan Sedekah Jajan di Malam Tiga Hari dan Tujuh Hari
BUDAYA NGEJEKAKE YANG DIIRINGI DENGAN JAJAN SEDEKAH NAMUN TERKESAN MEMBERATKAN
Ngejekake (tradisi 7 hari) merupakan sebuah tradisi baik yang sudah berjalan bertahun-tahun oleh masyarakat di kalangan warga Nahdliyyin, khususnya di Desa Bulungan, kecamatan Pakis Aji Kabupaten Jepara.
Ngejekake atau biasa sering di namakan mujekake adalah sebuah kegiatan mendoakan jenazah setelah dikuburkan yang diisi dengan pembacaan tahlil yang dikhususkan untuk mayit. Kegiatan tersebut dihadiri dan diikuti oleh para kiai setempat dan kerabat serta tetangga dekat maupun jauh (tetangga yang lebih dari 40 rumah).
Secara teknisnya, para kerabat, tetangga dekat maupun jauh berkumpul di rumah shohibul musibah kemudian membacakan surat yasin, tahlil dan doa yang diperuntukkan kepada si mayyit.
Ngejekake, umumnya dimulai sejak malam pertama hingga malam ke tujuh usai mayit di makamkan, dan pada saat malam ketujuh selain di isi tahlil dan terkadang diisi dengan pengajian yang biasanya mendatangkan kiai setempat atau kiai sekitar daerahnya. Dan pada saat malam ketiga dan ketujuh, shohibul musibah bersedekah berupa jajan yang dibagikan kepada yang hadir di acara tersebut.
Berdasarkan pantauan dan laporan serta masukan dari masyarakat Desa Bulungan, Pengurus NU Ranting Bulungan menanggapinya tentang moment sedekah jajan di acara ngejekake dan dimusyawarahkan bersama para kiai dan sesepuh ranting NU Bulungan.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ngejekake mayoritas dari pihak shohibul musibah memberikan jajan bagi jamaah ngejekake saat malam ke-3 dan ke-7 hari. Momen ini paling banyak terjadi di masyarakat Bulungan maupun lainnya di kabupaten Jepara dengan memberikan sedekah Jajan tersebut. Akan tetapi hal tersebut terkadang menjadi beban oleh keluarga yang tidak mampu. Bahkan terkadang juga sampai menjual sawah atau tanah untuk acara ngejekake tersebut.
Ada hal yang harus dan wajib diketahui oleh masyarakat tentang kewajiban dan kesunnahan setelah meninggal dunia, dan yang terpenting yang berhubungan dengan harta si mayyit.
Apabila si mayyit meninggalkan anak yatim, maka harta peninggalan yang telah menjadi hak anak yatim haram dipakai untuk acara ngejekake.
Apabila si mayyit meninggalkan zakat dimasa hidupnya maka harta peninggalannya wajib diambil untuk membayar zakat, baik zakat badan maupun zakat mal.
Apabila si mayyit meninggalkan puasa ramadhan di masa hidupnya, maka harta peninggalannya wajib diambil untuk dibayarkan fidyah sebanyak hari hari ia meninggalkan puasa.
Bahkan ada pendapat bahwa apabila si mayyit belum berangkat haji, maka harta peninggalannya wajib diambil untuk dibayarkan badal haji untuk dirinya.
Dan apabila si mayyit memiliki hutang maka harta peninggalannya wajib diambil untuk membayarkan hutangnya. Dan apabila tidak ada harta yang tersisa baru kemudian diambilkan dari harta orang yang menanggung hutang si mayyit (biasanya anak pertama atau lainnya).
Beberapa perkara tersebut adalah perkara yang wajib ditunaikan setelah dia meninggal. Jadi tidak boleh mengambil harta peninggalan si mayyit.
Apabila harta peninggalan si mayit masih ada sisa dari sekian tadi yang telah disebutkan jika sudah dibayarkan maka baru kemudian menjadi hak waris bagi ahli warisnya.
Maka kemudian, kegiatan ngejekake yang disediakan sedekah jajan untuk para hadlirin akan menjadi aman (artinya tidak mendapatkan dosa jika terjadi pelanggaran) diambilkan dari iuran anak keturunannya atau sisa harta peninggalan si mayyit setelah ditunaikan kewajibannya.
Dan sedekah jajan di acara ngejekake sebaiknya dilakukan semampunya saja, artinya tidak perlu diambilkan hutang sana sini hanya demi sedekah jajan ngejekake, karena hal itu bukanlah sebuah kewajiban.
Oleh karena itu, jika ada usulan untuk sedekah dialihkan ke masjid atau mushola atau madrasah diniyah, maka ini bukan lah solusi, tetapi justru menambah beban bagi shohibul musibah. Jadi sebaiknya para kiai ranting NU Bulungan tidak boleh memberikan fatwa yang tidak sesuai dengan keadaan shohibul musibah.
