Memahami Sifat-Sifat Wajib Bagi Allah

Memahami Sifat Sifat Wajib Bagi Allah. ulama Ahlussunnah sepakat bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allooh adalah Tawqifiyyah. Artinya bahwa nama-nama da

 Sifat Wajib Bagi Allah Ta'ala itu banyak sekali, tidak ada yang tahu jumlahnya, namun para ulama merumuskan yang wajib diketahui oleh setiap mukallaf ada 20 sifat, dan juga ada yang mengatakan 13 sifat. 


Baik sifat 20 atau sifat 13 yang wajib diketahui oleh setiap mukallaf tersebut semuanya termaktub di dalam nash alQuran dan juga al Hadits. Sebagaimana rosulullah mengajarkan kepada para shahabatnya dan sampai kepada para ulama tersebut.

Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah Adalah Tawqifiyyah

Para ulama Ahlussunnah sepakat bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allooh adalah Tawqifiyyah. Artinya bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allooh hanya ditetapkan oleh Syara’. Yaitu ditetapkan oleh Allooh dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam Hadits-Hadits yang shohih. Tidak ditetapkan dengan jalan Ijtihad. Pendapat ini banyak diungkapkan oleh para ulama kita. Diantaranya oleh Syekh Ibrahim al-Laqqani dalam Jawharah at-Tawhid;

واختير أن اسماه توقيفية * كذا الصفات فاحفظ السمعية

“Dan pendapat yang dipilih adalah bahwa Nama-Nama Allooh adalah Tauqifiyyah. Demikian pula Sifat-Sifat-Nya. Maka hafalkan olehmu apa yang datang secara sam’i (datang dalam ketetapan Syara’)”.

Para ulama kita mengatakan bahwa dalam menetapkan sifat-sifat bagi Allah adalah hanya dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam Hadits-Hadits yang shohih. Ini artinya; lafazh-lafazh yang disandarkan kepada Allah yang berlaku dalam makna idhafat (penyandaran) saja maka itu semua tidak boleh ditetapkan sebagai Sifat-Sifat bagi-Nya. Al-Hafizh Ibnul Jawzi dalam bantahan terhadap kaum Musyabbihah Mujassimah berkata:

أنهم سموا الأخبار أخبار صفات، وإنما هي إضافات، وليس كل مضاف صفة، فإنه قال سبحانه وتعالى: ونفخت فيه من روحي (سورة الحجر: 29) وليس لله صفة تسمى روحا، فقد ابتدع من سمى المضاف صفة. اهـ

 Ibnul Jawzi, Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 5

”Mereka selalu menamakan setiap teks yang memberitakan tentang Allah sebagai sifat-sifat-Nya. Padahal tujuan teks-teks tersebut hanya untuk mengungkapkan penyandaran saja (al-Idlafah). [Artinya penyandaran sesuatu kepada nama Allah untuk menunjukan bahwa Allah memuliakan perkara tersebut]. Padahal tidak setiap bentuk Idlafah itu dalam pengertian sifat. Contoh, firman Allah tentang Nabi Isa:

وَنَفَخْتُ فيْه مِنْ رُوْحِي (سورة الحجر: 29)

Kata “من روحي” dalam ayat ini tidak boleh dipahami bahwa Allah memiliki sifat yang disebut dengan “ruh” [lalu sebagian ruh tersebut adalah bagian dari Nabi Isa yang ditiupkan kepadanya]. (Tetapi yang dimaksud adalah bahwa ruh tersebut adalah ruh yang dimuliakan oleh Allah). Barangsiapa memahami bahwa setiap Idlafah itu sebagai sifat maka dia seorang yang telah sesat dan ahli bid’ah”.

Dengan demikian dapat kita pahami bahwa tidak setiap segala yang disandarkan kepada Allah, baik dalam teks-teks Al-Qur’an atau Hadits-Hadits Nabi dapat disebut sebagai sifat Bagi-Nya. Kesimpulan ini harus dipahami dengan benar. Karena jika tidak maka seseorang akan menetapkan segala apapun bagi Allah dengan dalih ada penyebutannya dalam Al-Qur’an dan Hadits, walaupun itu sifat-sifat benda, seperti gerak, turun, naik, bentuk, ukuran, tempat, arah, anggota-anggota badan, dan lainnya. Na’udzu Billah.

Sifat Sifat Wajib Bagi Allah

Sudah menjadi kebiasaan para ulama Mutaakkhirin (ulama' yang hidup setelah abad ke-3 H) yang mengarang kitab tentang 'aqidah mengatakan : 

"Sesungguhnya yang wajib ‘ain (yang difardhukan) bagi setiap mukallaf yang baligh dan berakal sehat adalah mengetahui sifat-sifat Allah yang tiga belas", yaitu : 

  1. Wujud (Ada).
  2. Qidam (Tidak ada permulaan bagi adanya Allah).
  3. Mukholafatu lil hawaditsi (Tidak serupa dengan makhluk-Nya).
  4. Wahdaniyyah (Tidak ada sekutu bagi-Nya). 
  5. Al-Qiyam binnafsih (Tidak membutuhkan selain-Nya).
  6. Baqa’ (Kekal).
  7. Qudrah (Berkuasa).
  8. Iradah (Berkehendak).
  9. Hayah (Hidup).
  10. 'Ilmu (Mengetahui).
  11. Kalam (Berfirman).
  12. Sam’u (Mendengar). 
  13. Bashar (Melihat).

Dan bahwasanya mustahil bagi Allah memiliki sifat-sifat yang menafikan sifat-sifat tiga belas tersebut. 

Ketika sifat-sifat ini banyak disebutkan di dalam nash-nash syara’, maka para ulama mengatakan : 

"Mengetahui sifat-sifat Allah tiga belas tersebut hukumnya adalah wajib 'ain bagi setiap mukallaf".

Sebagian ulama mengatakan bahwasanya diwajibkan bagi setiap mukallaf mengetahui dua puluh sifat, mereka menambahkan sifat Ma’nawiyah yaitu :

  1. Qadirun (Dzat yang maha Kuasa). 
  2. Muridun (Dzat yang maha berkehendak).
  3. Hayyun (Dzat yang maha Hidup).
  4. 'Alimun (Dzat yang maha Mengetahui). 
  5. Mutakallimun (Dzat yang Berfirman).
  6. Sami’un (Dzat yang maha Mendengar). 
  7. Bashirun (Dzat yang maha Melihat). 

Tetapi pendapat yang pertama (yang mengatakan bahwasanya sifat-sifat Allah ada tiga belas) adalah pendapat yang diunggulkan. Karena ketika kita meyakini bahwasanya Allah bersifat Qudrah, maka sudah tentu artinya Allah adalah Qadirun, dan begitu juga seterusnya.

1. Sifat Wujud (Ada)


Kita wajib meyakini bahwa Allah wujud (ada). Wujud-Nya tidak didahului oleh ketiadaan. Dia ada tanpa dilahirkan. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dia ada tanpa permulaan dan ada tanpa akhir. Allah Ada Tidak dijadikan Asal Sesuatu. Allah Tidak berasal Sesuatu.

Dia ada, tapi keberadaan-Nya tidak seperti segala yang ada. Dia berbeda dengan apapun dan siapa pun. Dia Maha suci dari ukuran dan bentuk. Ada tanpa membutuhkan pada apapun. Ada tanpa tempat. Ada tanpa arah. Dia ada, tapi keberadaan-Nya tidak di atas, bawah, kanan, kiri, depan, ataupun belakang. Tidak juga di langit. Tidak di atas ‘arsy. Tidak di surga. Tidak di dalam alam. Dan tidak di luar alam.

Tidak boleh dikatakan, bahwa Dia ada di mana-mana, atau di semua tempat. Juga tidak boleh dikatakan, bahwa Dia berada di suatu tempat yang tidak kita ketahui di mana. Allah ada tanpa tempat. Allah ada tanpa arah. Dia tidak dapat dibayangkan. Karena apapun yang kita bayangkan adalah makhluk. Sedangkan Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya.

2. Sifat al Wahdaniyyah (Maha Esa)


Allah bersifat dengan sifat al Wahdaniyyah artinya Allah Esa pada Dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Yakni, Dzat (Hakikat)-Nya tidak serupa dengan dzat selain-Nya. Sifat-Nya tidak serupa dengan sifat selain-Nya. Dan perbuatan-Nya tidak serupa dengan perbuatan selain-Nya.

Sebagian ulama menjelaskan bahwa Allah Maha Esa artinya bahwa Allah ternafikan dari-Nya كم متصل dan كم منفصل

Allah ternafikan dari-Nya Kam muttashil artinya Allah bukanlah Dzat yang tersusun dari bagian-bagian.

SEANDAINYA Dzat-Nya tersusun dari bagian-bagian, maka berarti:

  • Dia adalah benda yang berukuran kecil atau besar
  • Niscaya Dia membutuhkan kepada mukhash-shish (sesuatu yang menjadikannya dalam ukuran tertentu), serta membutuhkan kepada tempat, arah dan ukuran.

Dengan demikian, Dia membutuhkan kepada muhdits (sesuatu yang mengadakan-Nya dari tiada menjadi ada).

Ini semuanya adalah mustahil.

Allah ternafikan dari-Nya Kam munfashil maksudnya adalah peniadaan serupa dan sekutu dari-Nya. Sifat Wahdaniyyah termasuk sifat salbiyyah yang menafikan keterbilangan, ketersusunan dan sekutu dari Allah ta’ala.

Oleh karena itu, tidak ada dzat yang menyerupai Dzat-Nya, tidak ada selain Allah yang memiliki sifat seperti sifat-Nya dan tidak ada yang memiliki perbuatan seperti perbuatan-Nya.

Allah satu bukanlah dari segi bilangan dan jumlah, karena bilangan satu bisa dipecah menjadi dua dan seterusnya.

Jadi, Yang dimaksud “Allah satu atau esa” adalah dari segi bahwa Allah tiada sekutu dan tiada serupa bagi-Nya.

Imam Abu Hanifah berkata:

والله واحد لا من طريق العدد ولكن من طريق أنه لا شريك له

“Allah Esa bukan dari segi bilangan, melainkan bahwa Ia tiada sekutu bagi-Nya."

3. Sifat al Qidam (Tidak ada permulaan bagi adanya Allah)


Wajib (pasti) bagi Allah bersifat qidam. Qidam yang merupakan sifat Allah adalah bermakna azaliyyah (tidak memiliki permulaan). Qidam yang merupakan sifat Allah tidak bermakna taqaadum al-‘ahd wa az-zaman (telah berlalu baginya masa yang lama). Allah adalah qadiim (Dzat yang bersifat qidam) dan azaliyy (Dzat yang bersifat azaliyyah). Jadi lafazh qadiim dan azaliyy, jika disifatkan kepada Allah maka bermakna Dzat yang tidak memiliki permulaan.

Sedangkan lafazh Qadim atau Qidam itu boleh disifatkan kepada makhluk dalam arti berlalunya masa yang lama. Sehingga Qidam yang berlaku zaman ini ditujukan pada makhluq-Nya.

Terkait arti untuk makhluk ini, Allah ﷻ berfirman :

(..... حَتَّىٰ عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ) [سورة يس 39]

Maknanya : “...sehingga (setelah bulan itu sampai ke tahapan yang terakhir), kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang qadiim (berlalu baginya masa/waktu yang lama)” (QS Yasin: 39)

Sedangkan lafadz Azali juga boleh disematkan untuk makhluq-Nya yang berarti telah berlalu waktu yang lama.

Al-Fairuzabadi dalam al-Qamus berkata:

الهرمان بناءان أزليان بمصر

“Dua piramida itu adalah bangunan azaliyy (telah berlalu baginya waktu yang lama) yang berada di Mesir.”

Jadi, tahu bedanya kan?

Dalil Naqli atas Sifat Qidam Allah

Firman Allah ﷻ:

هو الأول (سورة الحديد : 3)

Maknanya : “Hanya Allah yang tidak memiliki permulaan” (QS al-Hadid: 3)

Sabda Rasulullah ﷺ:

اللهم أنت الأول فليس قبلك شىء (رواه مسلم)

Maknanya : “Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang tidak bermula, tidak ada sesuatu apa pun sebelum-Mu.” (HR Muslim).

Dalil 'Aqli atas Sifat Qidam Allah

Dalil 'aqli atas sifat qidam adalah sebagai berikut.

  • Seandainya ia tidak bersifat qidam, niscaya Ia bersifat hudûts (memiliki permulaan). Setiap sesuatu yang memiliki permulaan, maka ia membutuhkan kepada sesuatu lain yang menjadikannya bermula (mewujudkannya dari tiada menjadi ada). Sesuatu yang membutuhkan kepada yang lain, berarti ia lemah. Dan sesuatu yang bersifat lemah, maka ia bukan tuhan.
  • Seandainya Ia memiliki permulaan, maka akan terjadi daur dan tasalsul. Keduanya mustahil terjadi.

Daur adalah bergantungnya wujud sesuatu kepada sesuatu lain yang wujudnya bergantung kepada sesuatu yang pertama.

Sebagai contoh adalah seandainya dikatakan: A diwujudkan oleh B. Dan B diwujudkan oleh A. Daur (perputaran) seperti ini adalah sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal. Karena hal itu akan berakibat pada pernyataan bahwa sesuatu adalah makhluk yang diciptakan oleh makhluknya sendiri.

Sedangkan Tasalsul adalah bergantungnya wujud sesuatu kepada sesuatu lain sebelumnya yang wujudnya bergantung kepada sesuatu sebelumnya, dan begitu seterusnya sampai tidak ada ujung awalnya. Hal ini jelas tidak masuk akal.

Sebagai contoh adalah apabila seseorang mengatakan pada orang lain: Saya tidak akan memberimu uang sehingga saya memberimu uang sebelumnya, dan begitu seterusnya sampai tidak ada ujung awalnya. Jika dikatakan seperti itu, maka uang yang dijanjikan tidak akan pernah diserah-terimakan.

Oleh karena daur dan tasalsus batil dan muhal terjadi, maka menjadi tetaplah bahwa Allah bersifat qidam (ada tanpa permulaan) dan mustahil Ia bersifat huduts (bermula).

4. Sifat al-Baqa’ (Kekal)


Wajib (pasti) bagi Allah bersifat baqa’, yang bermakna bahwa Dia tidak Punah (Rusak), atau tidak ada akhir bagi keberadaan-Nya. Karena ketika telah tetap bagi-Nya sifat qidam (ada tanpa permulaan) secara akal, maka wajib (pasti) bagi-Nya sifat baqa’ (kekal). Adanya Tanpa Permulaan, maka sudah pasti Ada Tanpa Akhiran (Kekal, Abadi).

Seandainya mungkin bagi-Nya ketiadaan (tidak kekal), niscaya akan gugur dari-Nya sifat qidam (tiada bermula). Dan ketiadaan sifat qidam dari-Nya adalah mustahil. Karenanya, menjadi gugurlah kemungkinan fana’ (punah, tidak kekal) dari-Nya.

Juga, seandainya mungkin berlaku bagi-Nya ketiadaan (tidak kekal) sebagaimana hal itu mungkin berlaku pada para makhluk, niscaya akan berlaku pula bagi-Nya sifat-sifat yang berlaku pada makhluk. Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia hâdits (ada setelah tiada).

Allah adalah satu-satunya al-Bâqî (Maha Kekal) yang mustahil bagi-Nya kepunahan. Tidak ada yang kekal dengan tanpa dikekalkan oleh yang lain, kecuali Allah. Sebagaimana tidak ada yang ada, dengan tanpa diwujudkan oleh yang lain, kecuali Allah.

Adapun kekekalan surga dan neraka, keduanya tidak kekal dengan sendirinya. Kekekalan keduanya adalah karena dikekalkan oleh Allah. Karena Allah telah menghendaki keduanya kekal, maka keduanya kekal dan tidak akan mengalami kepunahan.

Dilihat pada dzat (kemakhlukan)nya, surga dan neraka secara akal mungkin saja punah, karena keduanya hâdits (ada setelah tiada). Dan sesuatu yang hâdits tidak mungkin kekal dengan sendirinya.

Maka telah menjadi jelas bahwa seluruh makhluk (yang ada setelah tiada) sama dari segi bahwa semuanya didahului oleh ketiadaan, berdasarkan dalil naqli dan aqli. Juga seluruhnya sama dari segi bahwa semuanya pasti tidak kekal secara akal.

5. Sifat Qiyamuhu bi Nafsihi (Tidak membutuhkan kepada selain-Nya)


Allah ta’ala tidak membutuhkan segala sesuatu selain-Nya, dan segala sesuatu selain-Nya membutuhkan kepada-Nya. Allah tidak membutuhkan kepada sesuatu yang menjadikan-Nya ada. Karena sifat membutuhkan itu menafikan qidam-Nya. Padahal telah tetap dengan dalil naqli dan ‘aqli bahwa Allah bersifat Qidam dan Baqa’. Allah tidak mengambil manfaat dengan ketaatan orang-orang taat dan tidak mendapatkan mara bahaya dengan kemaksiatan orang-orang yang bermaksiat.

Dalil Naqli

Allah ta’ala berfirman:

والله الغني وأنتم الفقراء (محمد : 38)

Maknanya: “Dan Allah tidak membutuhkan kepada yang lain, sedangkan kalian membutuhkan kepada-Nya” (QS Muhammad: 38)

Rasulullah ﷺ bersabda:

اللهم أنت لا إله إلا أنت الغني (رواه الحاكم وأبو دود وابن حبان)

Maknanya: “Ya Allah, Engkau tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau yang tidak membutuhkan pada sesuatu apapun” (HR al-Hakim, Abu Dawud, Ibn Hibban)

Dalil ‘Aqli

Allah tidak membutuhkan kepada segala sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Karena sifat membutuhkan kepada yang lain adalah tanda huduts (adanya didahului ketiadaan). Padahal Allah Maha Suci dari sifat huduts.

6. Sifat Al Qudrah (Maha Kuasa)


Sifat Al Qudrah merupakan salah satu sifat ma'aniy.

Firman Allah

وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَیۡءࣲ قَدِیرٌ
[Surat Al-Baqarah 284]

"Allah Maha Kuasa Terhadap Segala Sesuatu"

Artinya, Allah memiliki sifat qudrah (kuasa) yang sempurna, dengannya Allah mengadakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada dan meniadakan sesuatu dari ada menjadi tidak ada. 'Segala sesuatu' dalam ayat ini yang berhubungan pada sesuatu yang mumkin aqli/jaiz aqli, tidak termasuk yang wajib aqli dan mustahil aqli. Yaitu pada makhluqNya.
  • Mumkin aqli adalah sesuatu yang dapat diterima oleh akal adanya dan tiadanya (Mungkin ada, mungkin tiada), yaitu seluruh makhluk.
  • Wajib aqli adalah sesuatu yang tidak diterima akal tiadanya (Pasti ada dan tidak mungkin tiada), yaitu Allah dan sifat-sifat-Nya
  • Mustahil aqli adalah sesuatu yang tidak diterima akal adanya (pasti tiada dan tidak mungki ada), yaitu seperti adanya sekutu bagi Allah, adanya anak bagi Allah dan semacamnya.
Kenapa sifat qudroh Allah hanya berkaitan dengan sesuatu yang Mumkin aqli?

Karena sifat qudroh adalah mengadakan dan meniadakan, sementara yang menerima ada dan tiada hanyalah sesuatu yang mumkin aqli, sementara yang wajib aqli tidak menerima tiada dan yang mustahil aqli tidak menerima ada.

Karena itu Haram dikatakan: Apakah Allah maha kuasa menciptakan sekutu bagi-Nya?
Karena adanya sekutu bagi Allah itu mustahil aqli. Pertanyaan Kufur dan bodoh seperti ini tidak boleh dijawab dengan ya ataupun tidak. Tetapi dijawab dengan: qudroh Allah tidak terkait dengan sesuatu yang mustahil aqli.

Dalil aqli atas sifat qudrah

Seandainnya Allah tidak maha kuasa, niscaya ia lemah, dan sifat lemah adalah sifat kekurangan, dan kekurangan mustahil bagi Allah subahanahu wa ta'aalaa.

7. Sifat Iradah (Maha Berkehendak)


Allah bersifatan dengan sifat Iradah yakni al-Masyi'ah (berkehendak) yang azali dan abadi. Dengan sifat Iradah, Allah mengkhususkan sesuatu yang ja'iz 'aqliyy (makhluk) dengan sebagian sifat yang mungkin berlaku baginya, tidak dengan sifat yang lain (tinggi tidak pendek, gemuk tidak kurus, tampan tidak jelek dan seterusnya), dan dengan satu waktu tidak dengan waktu yang lain (dahulu tidak sekarang, besok tidak sekarang, hari ini tidak kemarin dan seterusnya).

Semua yang terjadi di alam semesta ini, berupa apapun, baik berupa kebaikan maupun keburukan, semua terjadi dengan iradah (kehendak) Allah. Allah telah menentukan terjadinya pada azal, baik sifat-sifatnya maupun waktu terjadinya.

Perbedan Sifat qudrah dan Sifat iradah:

Sifat Qudrah adalah Allah mengadakan sesuatu (makhluqNya) dari tidak ada menjadi ada dan meniadakan sesuatu dari ada menjadi tidak ada.
(Contoh: Menciptakan, mematikan)

Sifat Iradah adalah Allah mengkhususkan sesuatu yang ja'iz 'aqliyy (makhluk) dengan sebagian sifat yang mungkin berlaku baginya, tidak dengan sifat yang lain, dan dengan satu waktu tidak dengan waktu yang lain.
(contoh: Kita dihidupkan Allah pada masa sekarang, tidak pada masa Nabi adam, kemudian kita di beri sifat-sifat tertentu yang tidak dimiliki orang lain, misalnya tampan, pintar dll)

Dalil naqli sifat Iradah, Allah ta'ala berfirman:

وما تشاؤون الا أن يشاء الله رب العالمين 

"Dan tidaklah kalian berkehendak, kecuali Allah tuhan alam semesta berkehendak" (QS at Takwir: 29)

Rasulullah shallallahu alayhi wasallam mengajarkan sebagian putrinya perkataan:

ما شاء الله كان وما لم يشأ لم يكن

"Apapun yang Allah kehendaki terjadinya pada azal pasti terjadi dan apapun yang tidak Dia kehendaki terjadinya pada azal maka pasti tidak terjadi" 

Dalil aqli, akal berkata:
Seandainya Allah tidak memiliki iradah maka pastilah alam semesta ini tidak akan ada. Karena adanya alam semesta dengan segala bentuk dan sifat-sifatnya pasti membutuhkan pada yang menentukannya pada bentuk dan sifat-sifatnya tersebut. 

Dan kita tahu persis, bahwa kita bukan orang yang menentukan bentuk dan sifat-sifat yang ada pada diri kita sekarang. Dengan demikian terbukti bahwa yang menentukannya adalah Allah ta’ala yang memiliki sifat iradah.

faktanya alam semesta ini ada, maka pastilah Allah itu bersifatan dengan iradah.

Dan jika Allah tidak bersifatan dengan iradah maka pasti Dia bersifatan dengan sifat kebalikannya, yaitu terpaksa dan yang terpaksa adalah lemah dan yang lemah bukanlah tuhan.

Kemudian al Iradah dengan makna al Masyi 'ah menurut Ahlul Haqq (Ahlussunnah wal jama'ah) mencakup perbuatan-perbuatan hamba seluruhnya yang baik dan yang buruk. 
Jadi segala sesuatu yang masuk dalam keberadaan, Perbuatan yang baik dan buruk, kekufuran dan maksiat ataupun ketaatan, itu terjadi dengan kehendak Allaah. 
Hal ini adalah sifat kesempurnaan bagi Allaah, karena kekuasaan dan kehendak Allaah yang mencakup segala sesuatu itu layak bagi keagungan Allaah. 

Kebaikan (yang dinilai dengan syara') terjadi dengan sifat Khaliq Allah, dengan Iradah Nya, dengan Taqdir Nya, dan dengn sifat Ilmu Nya, Allah memerintahkannya, Mencintainya dan meridloinya.

Sedangkan keburukan (yang dinilai dengan syara') itu terjadi dengan sifat Khaliq Allah, dengan Iradah Nya, Taqdir Nya, dan Ilmu Nya, akan tetapi Allah tidak memerintahkannya, tidak Mencintainya dan tidak meridloinya.

Al-Masyi'ah (berkehendak) itu Kaitannya dengan Mengetahui, Artinya semua yang di kehendaki Allah pasti diketahui Allah.

Al Masyi'ah (kehendak) tidak berkaitan dengan perintah, artinya tidak semua apa yang dikehendaki Allah, termasuk hal yang di perintahkan Allah.

Contohnya Allaah subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih putranya Isma'il, Tapi Allaah menghendaki Nabi Isma'il tidak tersembelih.

Para ulama mengatakan bahwa semua perkara yang berkaitan dengan sifat Iradah terbagi menjadi 4:

1. Sesuatu yang di kehendaki oleh Allah Sekaligus di perintahkan oleh Allah.

Contohnya: Allah memerintahkan kita semua untuk beriman, dan ta'at.

2. Sesuatu yang di kehendaki oleh Allah Tapi tidak diperintahkan oleh Allah. 

Contohnya: Kemaksiatan yang dilakukan pelaku maksiat dan kekufuran orang orang kafir.

Perlu di tegaskan bahwa Allah tidak mencintai kekufuran meskipun Allah lah yang menciptakan kekufuran itu dengan kehendak Nya, dan Allah tidak Ridlo kekufuran itu terjadi pada hamba Nya

3. Sesuatu yang diperintahkan oleh Allah tetapi Allah tidak menghendaki hal tersebut terjadi.

Contohnya: Allah memerintahkan orang orang kafir untuk  beriman, tetapi Allah tidak menghendaki orang orang kafir tersebut beriman.

4. Sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah, dan Allah tidak menghendaki itu terjadi.

Contohnya: Kekufuran pada diri para Nabi dan Malaikat

Golongan menyimpang

Sebagian sekte di dalam Muktazilah meyakini bahwa Allah hanya menciptakan kebaikan, Allah hanya menghendaki kebaikan, sedangkan keburukan, Dosa, kekufuran, kemunafikan, maka itu yang menciptakannya adalah hamba itu sendiri bukan Allah.

Ini berbeda dengan apa yang di ajarkan para ulama ahlussunnah wal jamaah bahwa segala sesuatu Yang baik maupun yang buruk itu diciptakan dan dikehendaki terjadinya oleh Allah.

Karena seandainya terjadi dalam kekuasaan Allaah perkara yang diluar kehendak Nya, maka hal itu menjadi bukti kelemahan, padahal sifat lemah adalah mustahil bagi Allaah.

8. Sifat Ilmu (Maha Mengetahui)


Allah bersifatan dengan ilmu yang azali dan abadi. Ilmu allah berkaitan dengan Mumkin aqli, wajib aqli, mustahil aqli. Dengan sifat ilmu itu Allah mengetahui segala sesuatu, tidak ada sesuatupun yang tidak diketahui oleh-Nya. Artinya dengan sifat Ilmu, Allah mengetahui dzatnya, sifat-sifatnya dan seluruh apa yang Allah ciptakan diantara makhluq Nya, tidak ada yang terhalang bagi Ilmu Allah. 

Allah mengetahui apa telah terjadi, sedang terjadi, yang akan terjadi, dan Allah juga mengetahui apa yang tidak terjadi, seandainya terjadi maka dalam keadaan bagaimanapun, Allah mengetahui itu semua.

Ilmu Allah Ta'ala adalah ilmu yang Wahid, tidak berpermulaan dan tidak berpenghabisaan, tidak berubah, tidak berkembang, tidak bertambah, tidak berkurang, tidak serupa apapun.

Ilmu Allah yang merupakan sifat-Nya adalah Esa (wahid) dan tidak berbilang sesuai dengan bilangan yang diketahui (maklumat). Sedangkan ilmu makhluq adalah ilmu yang memiliki permulaan, berubah, berkembang, bertambah dan berkurang.

Waspadai kelompok yang menyimpang dalam masalah ini:

1. Filosuf
Diantara mereka menafikan (menolak) bahwa Allah maha mengetahui secara mutlak. Sebagian mereka mengatakan bahwa Allah itu maha mengetahui dengan dzat-Nya tidak dengan sifat ilmu. Sebagian mereka menetapkan bahwa Allah maha mengetahui tetapi hanya secara global, tidak mengetahui rincian dari segala sesuatu. 
Maka ketahuilah, semua keyakinan ini adalah kufur.

2. Ahli bid'ah
Sebagian mereka menetapkan ilmu yang hadits (baharu) bagi Allah. Sebagian mereka mengatakan bahwa Allah itu maha mengetahui dengan makna bahwa Allah itu tidak bodoh, bukan berarti Dia memiliki sifat ilmu. Dua keyakinan ini juga kufur.

Dalil aqli dari sifat ilmu adalah:

bahwa penciptaan alam semesta ini sangat teratur dan tersusun rapi. Dan ini menunjukkan kemaha-kuasaan Allah dan kemaha-tahuan-Nya terhadap rincian segala perkara.

Atau dikatakan; Apabila Allah tidak bersifatan dengan ilmu maka pastilah Allah bersifat dengan sifat kebalikannya yaitu bodoh (jahl). Dan jahl ini akan menjadi sifat yang azali, dan sesuatu yang azali mustahil tiadanya. Sehingga selamanya dia tidak mengetahui dan ini adalah sifat yang tidak layak bagi Allah (naqsh).

Dalil naqli dari sifat ilmu adalah firman Allah ta'ala:

والله بكل شيء عليم

Lafadz syai' dalam ayat ini termasuk di dalamnya Al wajib, Al mustahil dan Al mumkin.

Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda:

مفاتيح الغيب خمس لا يعلمها إلا الله

"Kunci yang ghoib ada lima, tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah".

CATATAN: 
Nabi tidak mengetahui semua ghoib

Tidak boleh dikatakan bahwa nabi Muhammad ﷺ mengetahui semua yang diketahui oleh Allah. Tetapi Allah memberitahukan sebagian dari perkara yang ghoib kepada Rasulullah shallallahu alayhi wasallam.

Allah ta'ala berfirman:

قُل لَّاۤ أَمۡلِكُ لِنَفۡسِی نَفۡعࣰا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاۤءَ ٱللَّهُۚ وَلَوۡ كُنتُ أَعۡلَمُ ٱلۡغَیۡبَ لَٱسۡتَكۡثَرۡتُ مِنَ ٱلۡخَیۡرِ وَمَا مَسَّنِیَ ٱلسُّوۤءُۚ إِنۡ أَنَا۠ إِلَّا نَذِیرࣱ وَبَشِیرࣱ لِّقَوۡمࣲ یُؤۡمِنُونَ
[Surat Al-A'raf 188]

Allah ta'ala juga berfirman:

قُل لَّا یَعۡلَمُ مَن فِی ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ ٱلۡغَیۡبَ إِلَّا ٱللَّهُۚ
[Surat An-Naml 65]

Allah ta'ala juga berfirman:

وَمِنۡ أَهۡلِ ٱلۡمَدِینَةِ مَرَدُوا۟ عَلَى ٱلنِّفَاقِ لَا تَعۡلَمُهُمۡۖ نَحۡنُ نَعۡلَمُهُمۡۚ سَنُعَذِّبُهُم مَّرَّتَیۡنِ ثُمَّ یُرَدُّونَ إِلَىٰ عَذَابٍ عَظِیمࣲ
[Surat At-Taubah 101]

Ilmu Allah tidak muktasab

Tidak boleh dikatakan bahwa ilmu Allah itu muktasab. Jika dikatakan bahwa ilmu Allah itu muktasab maka berarti ilmu itu muncul dari proses berfikir (nadlor) dan mencari dalil (istidlal), dan artinya ilmunya didahului oleh kebodohan, tidak azali. Jelas Ini mustahil bagi Allah karena nadlor dan istidlal itu didahului dengan kebodohan (ketidak-tahuan).

9. Sifat as Sam'u (Maha Mendengar)


Artinya, Allah ta'ala bersifatan dengan sifat mendengar yang azali (tidak berpermulaan) dan abadi (tidak berpenghabisan), tanpa membutuhkan pada Alat gendang telinga, daun telinga atau piranti lainnya. Allah ta'ala mendengar seluruh suara, sebagian ulama mengatakan Allah mendengar segala sesuatu, suara atau bukan suara.

Dalil naqli, Allah ta'ala berfirman:

وهو السميع البصير

"Dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat". Q. S as Syura:11

Sabda Nabi:

فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا

"Janganlah kalian memaksakan diri kalian untuk mengeraskan suara (dalam berdo'a & berdzikir) Sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tuli, sesungguhnya kalian berdoa kepada Dzat yang maha mendengar"

Dalil Aqli, akal berkata:
Jika dikatakan bahwa Allah tidak bersifatan dengan sifat mendengar (as sama') maka berarti Dia tuli, padahal tuli adalah sifat naqsh (sifat kurang, sifat yang tidak layak bagi Tuhan).

10. Sifat Bashar (Maha Melihat)


Artinya, Allah bersifatan dengan sifat melihat yang azali (tidak berpermulaan) dan abadi (tidak berpenghabisan), tanpa membutuhkan pada alat kelopak mata, tanpa butuh media cahaya, atau piranti lainnya.

Sedangkan penglihatan Makhluq Nya adalah berpermulaan (ada setelah tiada) dan membutuhkan alat-alat.

Allah melihat segala sesuatu, sebagian ulama mengatakan, Allah melihat segala sesuatu yang bisa dilihat.

Dalil naqli, Allah ta'ala berfirman:

وهو السميع البصير

"Dan Dia (Allah) Maha Mendengar lagi Maha Melihat". (QS as Syura:11)

Dalil Aqli, akal berkata:
Apabila Allah tidak bersifatan dengan sifat Bashor maka Dia bersifatan dengan sifat kebalikannya, yaitu buta. Buta adalah sifat kurang (sifat yang tidak layak bagi Tuhan). Maka pastilah Allah itu Dzat yang maha melihat.

Firman Allah Ta'ala:

وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِیرࣱ
(Q.S. Al Hadid: 4)

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah melihat terhadap segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia, dan akan membalas setiap perbuatan itu sesuai dengan amal perbuatannya. 

Apabila manusia berbuat kebaikan, maka Allah akan membalasnya dengan pahala.
Pahala adalah balasan menyenangkan pada hari kiamat atas perbuatan baik yang dilakukan oleh manusia, seperti masuk surga. 

Apabila manusia berbuat keburukan, maka Allah akan membalasnya dengan adzab.
Adzab adalah balasan tidak menyenangkan pada hari kiamat atas perbuatan buruk yang dilakukan oleh manusia, seperti masuk neraka.

11. Sifat Al Hayah (Maha Hidup)


Sifat al Hayah, artinya Allah itu maha hidup, hidupnya Allah tidak seperti hidupnya makhluk. Hidupnya Allah azaliyah (tidak berpermulaan) dan abadiyyah (tidak berpenghabisan), berbeda dengan hidupnya makhluk yang haaditsah (berpermulaan). Hidupnya Allah tidak membutuhkan pada ruh, daging, tulang, darah dan piranti-piranti lainnya. Berbeda dengan hidup makhluk yang bergantung pada ruh, darah, daging, tulang dan piranti-piranti lainnya. 

Dalil naqli tentang sifat hayah adalah firman Allah ta'ala:

ٱللَّهُ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡحَیُّ
[Surat Al-Baqarah 255]
"Allah, tidak ada yang disembah dengan benar selain hanya Dia yang maha Hidup". 

Dalil aqli tentang sifat hayat adalah:
Seandainya Allah tidak memiliki sifat hayah, pastilah Dia tidak memiliki sifat qudroh, iradah dan ilmu.
Karena sesuatu yang tidak hidup seperti batu, pohon dan semacamnya tidak dapat disifati dengan berkuasa (qudroh), berkehendak (iradah) dan mengetahui (Ilmu). 
Dan seandainya Allah itu tidak hidup pastilah alam semesta ini tidak ada, namun faktanya alam semesta ini ada dan bisa disaksikan dengan mata.

12. Sifat al Kalam (Berfirman)


Artinya, Allah maha berfirman dengan kalam yang Wahid, yang azali (tidak berpermulaan) dan abadi (tidak berpenghabisan), Tidak berupa bahasa, bukan huruf dan bukan suara, berbeda dengan kalam makhluk-Nya. Tidak Serupa apapun. Karena itu, Ahlussunnah wal Jama’ah meyakini bahwa kalam Allah itu bukan bahasa, bukan huruf dan juga bukan suara.

Al Imam Abu Hanifah Radliyallahu 'anhu dalam kitab al Fiqh al Akbar berkata:

والله يتكلم لا بآلة وحرف ونحن نتكلم بآلة وحرف

"Allah berfirman tidak dengan alat dan huruf, sedangkan kita berkata dengan alat (organ bicara) dan huruf"

Kalam Allah disebut untuk dua penyebutan, yaitu:
  1. Kalam Allah adz Dzati yang merupakan sifat Allah yang azali dan abadi. Kalam ini bukan berupa bahasa, huruf dan suara.
  2. Al Lafadz al Munazzal (lafadz yang diturunkan) pada sebagian para nabi. Ini adalah ibaroh (ungkapan) dari kalam Allah yang azali dan abadi.
Dalil naqli, Allah ta'ala berfirman:

وكلم الله موسى تكليما

"Dan Allah benar-benar telah memperdengarkan kalam-Nya yang bukan berupa bahasa, bukan huruf dan bukan suara, pada nabi Musa"

Allah Maha Kuasa untuk menjadikan Nabi Musa mampu memahami Kalam Allah yang bukan berupa bahasa, bukan huruf dan bukan suara.

Dalil aqli, Akal berkata:
Jika Allah tidak bersifatan dengan sifat kalam maka dia bersifatan dengan sifat kebalikannya, yaitu bisu. Bisu adalah sifat naqsh (sifat yang tidak layak bagi Allah).
Maka Allah pasti bersifatan dengan sifat kalam

Dan salah satu yang melatar belakangi ilmu aqidah dan ilmu tauhid disebut ilmu kalam adalah karena banyaknya pembahasan dikalangan aliran-aliran yang semuanya mengaku islam mengenai sifat kalam Allah.

Jika ada kaum musyabbihah (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk Nya) mengatakan bahwa:
"Kalam Allah berupa huruf dan suara dengan dalih firman Allah:

اِنَّمَاۤ اَمْرُهٗۤ اِذَاۤ اَرَا دَ شَیْئًـا اَنْ يَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ

"Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, Jadilah ! Maka jadilah sesuatu itu."
(QS. Ya-Sin 36: Ayat 82)

Jawabannya adalah:
Kalau seandainya Kalam Allah berupa huruf, bahasa & suara sebagaimana keyakinan musyabbihah dengan dalih (QS. Ya-Sin 36: Ayat 82) tersebut, maka Ayat ini akan bertentangan dengan ayat ayat lainnya, diantaranya yaitu Firman Allah:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ (الشورى:11)
وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الأَعْلَى (سورة النحل: 60)
فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ ۚ(النحل:74)
وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ (الاخلاص:4)

Dan tidak mungkin ayat al Qur'an saling bertentangan

Para ulama menafsirkan ayat (QS. Ya-Sin 36: Ayat 82) tsb dengan bahwa Allah mengadakan segala sesuatu dengan mudah tanpa capek dan kesulitan tanpa ada seorangpun yang bisa menghalanginya.
Allah menciptakan segala sesuatu dengan cepat, tidak terlambat dari waktu yang telah Dia kehendaki terjadinya.

Lafadz كن فيكون adalah ungkapan untuk menunjukkan mudah dan cepatnya Allah dalam menciptakan makhluk-Nya.

Jadi tidak boleh dimaknai dengan makna oleh sebagian orang bahwa jika Allah menghendaki untuk menciptakan sesuatu maka Allah berfirman dengan كن yang terdiri dari huruf kaf dan nun.

Penafsiran seperti ini tidak benar, karena kalam Allah sebagaimana seluruh sifat Allah yang lainnya itu azali (tidak berpermulaan) dan abadi (tidak berpenghabisan), sehingga kalam Allah bukan berupa bahasa, huruf dan suara.

Seseorang yang memahami bahwa setiap kali Allah menciptakan makhluk-Nya Dia berkata كن, seakan-akan dia mengatakan, tidak ada pekerjaan bagi Allah selain berkata كن, karena dalam satu detik jutaan makhluk tercipta, dan seluruhnya Allah yang telah menciptakan-Nya dari tidak ada menjadi ada.

Demikian juga makna shalawat dan salam pada Nabi diperintahkan secara langsung oleh Allah ta'ala. Allah ta'ala berfirman:

إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَـٰۤىِٕكَتَهُۥ یُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِیِّۚ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ صَلُّوا۟ عَلَیۡهِ وَسَلِّمُوا۟ تَسۡلِیمًا

"Sesungguhnya Allah dan para malaikat bershalawat pada Nabi, wahai orang-orang yang beriman bershalawat dan salamlah kalian pada Nabi" [Surat Al-Ahzab 56]

Makna sholawat Allooh pada nabi adalah Allah Ta'ala memberi rahmat pada nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam.

Jadi tidak boleh dimaknai Allah bersholawat seperti manusia. Karena Kalam Allah tidak berupa bahasa, tidak berupa huruf dan tidak berupa suara. Kalam Allah Azaliy Abadi dan tidak berubah. Tidak bermula dan tidak berakhir. Tidak Serupa apapun.

Makna shalawat malaikat pada nabi adalah para malaikat memintakan ampunan untuk nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam. 

Dan Makna shalawat dan salam kita pada nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam adalah:
  1. Makna shalawat adalah meminta tambahan kemulian dan keagungan kepada Allah untuk nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam.
  2. Makna salam adalah meminta kepada Allah keamanan untuk nabi Muhammad dari sesuatu yang beliau khawatirkan terjadi pada umatnya.

13. Sifat Mukhalafatuhu li al-Hawadits (berbeda dengan seluruh makhluk)


Wajib meyakini bahwa Allah ﷻ tidak menyerupai sesuatu pun dari makhluk-Nya. Allah bukanlah jauhar (benda) yang menempati suatu tempat. Allah bukan pula sifat benda. 

Argumen rasional atas hal itu adalah seandainya Allah serupa dengan sesuatu dari makhluk-Nya, niscaya mungkin saja berlaku bagi-Nya hal-hal yang mungkin juga berlaku bagi para makhluk, yang berupa sifat berubah, berkembang, tidak kuasa, lemah, sehat, sakit dan lain sebagainya. Seandainya mungkin berlaku bagi-Nya hal-hal tersebut, niscaya Ia membutuhkan kepada sesuatu yang mengubahnya dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Sesuatu yang membutuhkan kepada yang lain, berarti ia lemah. Sesuatu yang lemah pastilah bukan tuhan. Dengan demikian, wajib (pasti) Allah tidak menyerupai apa pun.

Allah ﷻ berfirman:

لَیۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَیۡءࣱ

Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya” (Q.S. as-Syura: 11)

Surat asy-Syura ayat 11 tersebut adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur'an yang menjelaskan bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا فِكْرَةَ فِي الرَّبِّ (رواه مرفوعا الدارقطني في الأفراد 1\397 والبغوي في تفسيره 5\265 وغيرهما)

Maknanya: “Tuhan Allah tidak dapat dibayangkan” (HR ad-Daraquthni dalam al-Afrad, al-Baghawi dalam Tafsirnya dll).

Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani dalam kitab Nur adh-dholam ‘ala ‘Aqidat al-‘Awamm, hlm. 7-8 mengatakan:

والمخالفة للحوادث هو عدم مماثلة شىء من الحوادث له سبحانه وتعالى فليس لحما ولا عظما ولا طويلا ولا قصيرا ولا متوسطا فهو تعالى ذات ليس فيها شىء من صفات الحوادث وكل ما خطر ببالك من صفات الحوادث لا تصدق أن في الله شيئا من ذلك ، وليس له مكان أصلا

“Sifat al-Mukhalafah li al-Hawadits, yaitu tidak menyerupainya sesuatu apa pun di antara seluruh makhluk terhadap Allah. Dengan demikian, Allah bukanlah daging, bukan tulang, tidak (berukuran) tinggi, tidak rendah, tidak sedang. Jadi Allah ta’ala adalah Dzat yang tidak berlaku bagi-Nya sesuatu apa pun di antara sifat-sifat segenap makhluk. Dan semua yang terlintas dalam benakmu yang berupa sifat-sifat makhluk, jangan percaya dan tidak dapat dibenarkan bahwa terdapat pada Allah salah satu dari sifat-sifat makhluk tersebut. Allah tidak menempati suatu tempat.”

Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (makhluk Allah) terbagi menjadi dua bagian:
1. Benda
2. Sifat benda.

Benda terbagi menjadi dua:
1. Benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (al-jauhar al-fard)
2. Benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (jism).

Jism terbagi menjadi dua macam:
  1. Benda lathif: Benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.
  2. Benda katsif: Benda yang dapat dipegang oleh tangan, seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Sedangkan sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya.

Dengan demikian, Allah sebagai Pencipta segenap alam dan bagian-bagiannya, tidak menyerupai itu semua.
Allah tidak serupa dengan al-jawhar al-fard.
Allah juga tidak menyerupai benda lathif atau benda katsif.
Allah juga tidak boleh disifati dengan apa pun dari sifat-sifat benda.

Berdasarkan ayat dan hadits yang disebutkan diatas, para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mengatakan bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan ada banyak yang serupa dengan-Nya. Jika demikian halnya, berarti Ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan yang demikian itu adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَىْءٌ غَيْرُهُ (رواه البخاري والبيهقي وابن الجارود)

Maknanya: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatu pun selain-Nya” (HR al-Bukhari, al-Baihaqi dan Ibn al-Jarud)

Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), dan tidak ada sesuatu apa pun selain-Nya bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, ‘Arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah.

Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, tanpa tempat dan arah. Dan setelah Allah menciptakan tempat dan arah, Allah tetap ada tanpa (membutuhkan) kepada tempat dan arah. Allah tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah. Karena berubah adalah salah satu ciri makhluk.

Oleh karena itu, sebagaimana dapat diterima oleh akal, wujud Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah.

Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh sayyidina Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya-:

كَانَ اللهُ وَلَا مَكَانَ وَهُوَ الآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كاَنَ

Maknanya: "Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat, dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat" (dituturkan oleh Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam karyanya, al-Farq bayna al-Firaq hlm. 333).

Imam As-Sajjad Zain Al Abidin ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (38 H-94 H) berkata:

أَنْتَ اللهَ الَّذِي لَا يَحْوِيْكَ مَكَانٌ (رواه الحافظ الزبيدي)

Maknanya: “Engkaulah Allah yang tidak diliputi tempat” (Diriwayatkan oleh al-Hafizh az-Zabidi dalam al-Ithaf dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah keturunan Rasulullah).

Intaha

Allah Tidak Serupa Apapun

COMMENTS

Nama

AjaranNU,13,Akidah,13,AmaliyahNU,9,Antihoax,8,Bandengan,3,Banom,25,Banser,5,Bapangan,2,Bulu,2,Demaan,3,Fatayat,7,Gpansor,6,Haji,1,Hikmah,19,Internasional,16,IPNU IPPNU,9,Jatman,3,Jepara,39,Jobokuto,2,JQH,6,Kajian,32,Karangkebagusan,1,Kauman,1,Kedungcino,3,Keislaman,36,Kuwasen,3,Lakpesdam NU,1,LAZISNU,1,LBMNU,2,LDNU,11,LESBUMI,1,LFNU,1,LKNU,2,LPBHNU,1,LPNU,5,LTMNU,3,LWPNU,1,Maarif,11,Mulyoharjo,1,Muslimat,9,MWCNU,23,Nasional,39,News,83,NU,36,NUabad21,9,NUDunia,10,Pagarnusa,1,Panggang,1,Pendidikan,11,Pengkol,1,Potroyudan,1,RMI,8,Saripan,3,SejarahNU,9,Tokoh,9,Ujungbatu,1,Wonorejo,3,Ziarah,13,
ltr
item
MWC NU Jepara: Memahami Sifat-Sifat Wajib Bagi Allah
Memahami Sifat-Sifat Wajib Bagi Allah
Memahami Sifat Sifat Wajib Bagi Allah. ulama Ahlussunnah sepakat bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allooh adalah Tawqifiyyah. Artinya bahwa nama-nama da
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIkE8Vx6K0wgX3FgnliizlcTQ8gt8E2LcfpRJ-vgypeedcMROI0G8UvTdF-mTPhL23ItE5CKh6SOVVC6GxMhtrE1VHHjxWq3hyphenhyphenFGFTFUomK3F4eBWnLmPo7JUAJRw568to6YwqFN30mRgfzjfUU_EDBezIAMXgD8J_pXdIYYDs_kywWpHjqToE1XhLSr4/w640-h366/Sifat13.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIkE8Vx6K0wgX3FgnliizlcTQ8gt8E2LcfpRJ-vgypeedcMROI0G8UvTdF-mTPhL23ItE5CKh6SOVVC6GxMhtrE1VHHjxWq3hyphenhyphenFGFTFUomK3F4eBWnLmPo7JUAJRw568to6YwqFN30mRgfzjfUU_EDBezIAMXgD8J_pXdIYYDs_kywWpHjqToE1XhLSr4/s72-w640-c-h366/Sifat13.jpg
MWC NU Jepara
https://www.mwcnujepara.com/2023/12/memahami-sifat-sifat-wajib-bagi-allah.html
https://www.mwcnujepara.com/
https://www.mwcnujepara.com/
https://www.mwcnujepara.com/2023/12/memahami-sifat-sifat-wajib-bagi-allah.html
true
3557243800941901703
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share. STEP 2: Click the link you shared to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy