Pesan Mbah Moen Agar Punya Pakaian Luar dan Dalam. kami datang kesini untuk mengajarkan masyarakat Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah bahwa Allah ada tanpa tempat
Setiap yang bernyawa kan merasakan kematian. Beralih dari kehidupan yang sementara menuju kehidupan yang hakiki nan abadi. Kegelapan menyelimuti dunia saat meninggalnya seorang Ulama'. Bersedih akan kepergian figur teladan bagi ummat. Sosok yang menerangi masyarakat dengan ilmu serta akhlak luhurnya. Tak lain tak bukan, karena merekalah pewaris Anbiya'. Sebab kewafatan mereka, ilmu dicabut dari dunia yang fana' ini.
Empat tahun silam, Alhamdulillah saya berkesempatan ngalap barokah ilmu kepada Simbah Maimoen Zubair, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Karangmangu Sarang Rembang. Tepatnya dalam rangka Pengajian Ramadlan tahun 1336 H yang biasa disebut "Balagh Ramadlan". Pengajian ini diikuti oleh masyarakat berbagai kalangan, tidak hanya santri Pondok Al-Anwar melainkan juga santri dari berbagai Pesantren lain, serta masyarakat umum. Saat itu Mbah Moen _begitu sapaan akrabnya_ mbalah (mengupas dan mengkaji) kitab Irsyadul 'Ibad, karangan seorang Ulama' dari India, Syeikh Zainuddin al-Malibari. Kitab ini banyak berisi nasihat yang berharga dan sangat berguna dalam menjalani hidup yang tak terlepas dari cobaan dan ujian. Pengajian berlangsung dua kali sehari, siang hari setelah dluhur dan malam setelah shalat tarawih. Hadirin selalu membludak. Tidak sedikit yang duduk beralaskan sandal di jalan depan dan samping pondok. Saat malam hari, salah satu hal yang tak boleh terlewatkan adalah kopi panas, sebab pengajian bisa berlangsung hingga jam sebelas malam. Saat mata tak kuasa menahan kantuk.
Bacalagi: Kisah Karomah Paling Mulia setelah Para Nabi
Kurang lebih dua pekan, saya menetap di sana. Tinggal di sebuah kamar yang tidak terlalu besar yakni DS 08. Dinding dan lantainya masih berupa papan kayu sehingga sering disebut Gothakan. Benar-benar sederhana. Pondok Al-Anwar terletak ditengah pemukiman padat penduduk. Seolah-olah kita sedang berada disalah satu pemukiman di Jakarta. Pondok ini hanya berjarak belasan meter dari Jalan raya Pantura yang ramai lalu-lintas dan hanya beberapa puluh meter dari garis pantai laut Jawa. Tidak heran air untuk wudlu, mandi dan kebutuhan lainnya berasa asin. Saat tengah hari, disaat matahari sedang terik-teriknya, suhu udara pun meningkat. Ditambah bangunan yang saling berhimpitan satu sama lain membuat sirkulasi udara tidak berjalan lancar. Praktis kondisi didalam kamar pun bagai didalam oven. Gerah dan panas. Keringat bercucuran. Namun, dibalik segala kesulitan yang mendera, padanya terdapat curahan ilmu-ilmu agama yang tawar lagi menyejukkan. Siraman rohani dari petuah dan wejangan Mbah Moen yang menenteramkan jiwa serta menenangkan hati.
Salah satu pesan Mbah Moen yang yang masih saya ingat adalah "Santri kui ketika ning masyarakat kudune duwe kelambi loro. Kelambi sing njobo lan sing njero" (Santri itu ketika sudah berada di masyarakat maka hendaknya sekiranya memiliki dua pakaian. Pakaian yang dalam dan yang luar). Maksudnya hendaknya berlaku ketat dalam menjalankan syari'at agama untuk diri sendiri. Berusaha untuk menjalankannya secara sempurna. Sedang ketika di masyarakat, seorang santri haruslah bisa bersikap lembut dan luwes karena tingkat pemahaman dan pengamalan agama setiap orang yang beragam. Seorang da'i haruslah bisa menyesuaikan diri terhadap kondisi dan karakter masyarakatnya. Ia harus bisa memahami norma serta kebiasaan yang berlaku. Disinilah ia dituntut agar bijak dalam bersikap dan bertindak.
Bacalagi: Sejarah MWC NU Jepara Kota Periode 1975 - 1980
Beliau juga berpesan "Besok yo cung, kowe santri kabeh neg bali ning omahe dewe-dewe do podo menyatuo karo poro alumni pondok liyo. Ojo podo dikotak-kotakno kui kerono pondoke. Wong yo podo-podo sinau kitab taqrib lan kitab alfiyah" (nanti nak, kalau kalian semua kembali ke kampung halaman masing-masing, membaur dan menyatulah dengan alumni dengan alumni pesantren lain. Janganlah mengkotak-kotakkan diri berdasarkan almamater. Kan kalian sama-sama mempelajari Taqrib Abu Suja' dan Alfiyah Ibnu Malik).
Selain talaqqi kepada Mbah Moen, saya juga ikut talaqqi kepada KH. Majid Kamil MZ, putra ketiga beliau yang menjabat sebagai ketua DPRD Kabupaten Rembang. Waktunya ba'da 'ashar hingga menjelang buka puasa. Kitab yang dikaji adalah Ad-Durroh Al-Bahiyyah yang membahas tentang tauhid dan aqidah.
Lalu pada bulan Januari 2018, saya kembali berkunjung ke Sarang, Rembang. Kali ini saya bersama rombongan menemani Syeikh Ismail Husein Sarhan dari Beirut, Lubnan yang sedang safari dakwah dibeberapa tempat di Jawa Tengah. Ketika itu Beliau ingin berkunjung dan bersilaturahmi kepada sesepuh Ulama' di tanah Jawa. Maka, kami pun mengantar beliau menemui Simbah Maimoen. Ketika pertama kali bertemu, masing-masing keduanya saling berebut mencium tangan yang lain. Mbah Moen dengan rendah hati berkata "Anta Syeikh minal 'Arab. Anta afdhol minni" (anda Syeikh dari Arab, anda lebih utama dari saya). Syeikh Ismail lalu menjawab "La, Syeikh. Anta Akbar minni sinnan. Inna akramakum 'indallahi atqaakum" (tidak, syeikh. anda lebih sepuh dari saya. Sungguh yang paling mulia diantara kalian menurut Allah adalah yang paling bertaqwa).
Perbincangan pun mengalir lancar diantara beliau berdua, selama satu jam lebih. Membahas tentang kondisi ummat dan perkembangan dakwah. Ketika Syeikh Ismail berkata "Nahnu ji'na li-nu'allim an-nas 'aqidah Ahlissunnah Wal Jama'ah anna Allah maujud bila makaan..." (kami datang kesini untuk mengajarkan masyarakat Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah bahwa Allah ada tanpa tempat). Sontak Mbah Moen berkata "Shahih, Shahih. Hadzihi Hiya al-Aqidah al-Haqqah. Unsyurha bain an-naas! (Benar, benar. Inilah Aqidah yang benar. Ajarkanlah kepada orang-orang!).
Bacalagi: Sejarah MWC NU Jepara Kota masa 1955-1975
Simbah Maimoen...
Njenengan sudah meninggalkan dunia fana' ini dengan senyum bahagia, sementara orang-orang disini dan disana menangis penuh duka... Amal jariyah senantiasa mengalir untukmu dari pesantren yang kau tinggalkan, serta dari murid-murid mu yang tersebar di berbagai belahan. Semoga Allah ta'ala mengumpulkan engkau dan juga kami bersama Anbiya' wal Auliya' was Syuhada' was Shalihiin. Aamiin yaa Robbal 'Aalamiin.
Mari kita hadiahkan bacaan surat al-Fatihah untuk KH. Maimoen Zubair. Lahul Fatihah...
Muhammad Sirril Wafa, Lc
Alumni Global University Doha Lebanon
Empat tahun silam, Alhamdulillah saya berkesempatan ngalap barokah ilmu kepada Simbah Maimoen Zubair, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Karangmangu Sarang Rembang. Tepatnya dalam rangka Pengajian Ramadlan tahun 1336 H yang biasa disebut "Balagh Ramadlan". Pengajian ini diikuti oleh masyarakat berbagai kalangan, tidak hanya santri Pondok Al-Anwar melainkan juga santri dari berbagai Pesantren lain, serta masyarakat umum. Saat itu Mbah Moen _begitu sapaan akrabnya_ mbalah (mengupas dan mengkaji) kitab Irsyadul 'Ibad, karangan seorang Ulama' dari India, Syeikh Zainuddin al-Malibari. Kitab ini banyak berisi nasihat yang berharga dan sangat berguna dalam menjalani hidup yang tak terlepas dari cobaan dan ujian. Pengajian berlangsung dua kali sehari, siang hari setelah dluhur dan malam setelah shalat tarawih. Hadirin selalu membludak. Tidak sedikit yang duduk beralaskan sandal di jalan depan dan samping pondok. Saat malam hari, salah satu hal yang tak boleh terlewatkan adalah kopi panas, sebab pengajian bisa berlangsung hingga jam sebelas malam. Saat mata tak kuasa menahan kantuk.
Bacalagi: Kisah Karomah Paling Mulia setelah Para Nabi
Kurang lebih dua pekan, saya menetap di sana. Tinggal di sebuah kamar yang tidak terlalu besar yakni DS 08. Dinding dan lantainya masih berupa papan kayu sehingga sering disebut Gothakan. Benar-benar sederhana. Pondok Al-Anwar terletak ditengah pemukiman padat penduduk. Seolah-olah kita sedang berada disalah satu pemukiman di Jakarta. Pondok ini hanya berjarak belasan meter dari Jalan raya Pantura yang ramai lalu-lintas dan hanya beberapa puluh meter dari garis pantai laut Jawa. Tidak heran air untuk wudlu, mandi dan kebutuhan lainnya berasa asin. Saat tengah hari, disaat matahari sedang terik-teriknya, suhu udara pun meningkat. Ditambah bangunan yang saling berhimpitan satu sama lain membuat sirkulasi udara tidak berjalan lancar. Praktis kondisi didalam kamar pun bagai didalam oven. Gerah dan panas. Keringat bercucuran. Namun, dibalik segala kesulitan yang mendera, padanya terdapat curahan ilmu-ilmu agama yang tawar lagi menyejukkan. Siraman rohani dari petuah dan wejangan Mbah Moen yang menenteramkan jiwa serta menenangkan hati.
Salah satu pesan Mbah Moen yang yang masih saya ingat adalah "Santri kui ketika ning masyarakat kudune duwe kelambi loro. Kelambi sing njobo lan sing njero" (Santri itu ketika sudah berada di masyarakat maka hendaknya sekiranya memiliki dua pakaian. Pakaian yang dalam dan yang luar). Maksudnya hendaknya berlaku ketat dalam menjalankan syari'at agama untuk diri sendiri. Berusaha untuk menjalankannya secara sempurna. Sedang ketika di masyarakat, seorang santri haruslah bisa bersikap lembut dan luwes karena tingkat pemahaman dan pengamalan agama setiap orang yang beragam. Seorang da'i haruslah bisa menyesuaikan diri terhadap kondisi dan karakter masyarakatnya. Ia harus bisa memahami norma serta kebiasaan yang berlaku. Disinilah ia dituntut agar bijak dalam bersikap dan bertindak.
Bacalagi: Sejarah MWC NU Jepara Kota Periode 1975 - 1980
Beliau juga berpesan "Besok yo cung, kowe santri kabeh neg bali ning omahe dewe-dewe do podo menyatuo karo poro alumni pondok liyo. Ojo podo dikotak-kotakno kui kerono pondoke. Wong yo podo-podo sinau kitab taqrib lan kitab alfiyah" (nanti nak, kalau kalian semua kembali ke kampung halaman masing-masing, membaur dan menyatulah dengan alumni dengan alumni pesantren lain. Janganlah mengkotak-kotakkan diri berdasarkan almamater. Kan kalian sama-sama mempelajari Taqrib Abu Suja' dan Alfiyah Ibnu Malik).
Selain talaqqi kepada Mbah Moen, saya juga ikut talaqqi kepada KH. Majid Kamil MZ, putra ketiga beliau yang menjabat sebagai ketua DPRD Kabupaten Rembang. Waktunya ba'da 'ashar hingga menjelang buka puasa. Kitab yang dikaji adalah Ad-Durroh Al-Bahiyyah yang membahas tentang tauhid dan aqidah.
Lalu pada bulan Januari 2018, saya kembali berkunjung ke Sarang, Rembang. Kali ini saya bersama rombongan menemani Syeikh Ismail Husein Sarhan dari Beirut, Lubnan yang sedang safari dakwah dibeberapa tempat di Jawa Tengah. Ketika itu Beliau ingin berkunjung dan bersilaturahmi kepada sesepuh Ulama' di tanah Jawa. Maka, kami pun mengantar beliau menemui Simbah Maimoen. Ketika pertama kali bertemu, masing-masing keduanya saling berebut mencium tangan yang lain. Mbah Moen dengan rendah hati berkata "Anta Syeikh minal 'Arab. Anta afdhol minni" (anda Syeikh dari Arab, anda lebih utama dari saya). Syeikh Ismail lalu menjawab "La, Syeikh. Anta Akbar minni sinnan. Inna akramakum 'indallahi atqaakum" (tidak, syeikh. anda lebih sepuh dari saya. Sungguh yang paling mulia diantara kalian menurut Allah adalah yang paling bertaqwa).
Perbincangan pun mengalir lancar diantara beliau berdua, selama satu jam lebih. Membahas tentang kondisi ummat dan perkembangan dakwah. Ketika Syeikh Ismail berkata "Nahnu ji'na li-nu'allim an-nas 'aqidah Ahlissunnah Wal Jama'ah anna Allah maujud bila makaan..." (kami datang kesini untuk mengajarkan masyarakat Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah bahwa Allah ada tanpa tempat). Sontak Mbah Moen berkata "Shahih, Shahih. Hadzihi Hiya al-Aqidah al-Haqqah. Unsyurha bain an-naas! (Benar, benar. Inilah Aqidah yang benar. Ajarkanlah kepada orang-orang!).
Bacalagi: Sejarah MWC NU Jepara Kota masa 1955-1975
Simbah Maimoen...
Njenengan sudah meninggalkan dunia fana' ini dengan senyum bahagia, sementara orang-orang disini dan disana menangis penuh duka... Amal jariyah senantiasa mengalir untukmu dari pesantren yang kau tinggalkan, serta dari murid-murid mu yang tersebar di berbagai belahan. Semoga Allah ta'ala mengumpulkan engkau dan juga kami bersama Anbiya' wal Auliya' was Syuhada' was Shalihiin. Aamiin yaa Robbal 'Aalamiin.
Mari kita hadiahkan bacaan surat al-Fatihah untuk KH. Maimoen Zubair. Lahul Fatihah...
Muhammad Sirril Wafa, Lc
Alumni Global University Doha Lebanon
COMMENTS